selamat datang!!!!!!

Selasa, 31 Mei 2011

mustarok

A. PENDAHULUAN
            Puji syukur kita haturkan kepada Allah swt. Yang telah memberi sanjungkan kepada nabi Muhammad saw. beliau yang telah memimpin umatnya dari zaman yang penuh dengan kebodohan sampai zaman yang penuh dengan kepandaian dan tentunya yang penuh kenikmatan.
            Jika kita perhatikan pada realitas saat sekarang ini, masih banyak dikalangan masyarakat yang masih belum memahami dengan benar mengenai hukum-hukum yang terkandung di dalam al-qur’an, tentunya hal tersebut banyak faktor diantaranya sulitnya memahami mengenai lafad satu yang mempunyai beberapa arti yang dikenal dalam ilmu ushul yaitu  (musytarok). Maka dari itu mari kita kaji bersam-sama mengenai lafad-lafad yang termasuk lafad musytarok.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Musytarok
Mengenai pengertian musytarok, banyak para ahli yang mendefinisikan diantaranya yaitu :
المشترك وهو ما وضع لمعنيين او اكثر باء وضاع متعددة
 Musytarok adalah kata yang diletakan untuk dua arti atau lebih dengan beragam peletakan[1].
Menurut Dr. Wabah al-zuhaili, kata musytarok adalah kata yang mempunyai dua arti[2].
            Dilihat dari pengertian diatas, suatu kata dapat dikatakan musytarok apabila lafad atau kata tersebut memiliki dua arti dan beragam peletakannya.
             Penjelasan lain mengenai lafad musytarok yaitu apabila terdapat lafad musytarok di dalam nash (al-qur’an) dalam segi lughowi dan istialhi sar’i, maka wajib dimasukkan sebagai maknanya yang bersifat istilahi sar’I[3]. Kata  الصلاة misalnya ditetapkan menurut bahasa untuk pengertian do’a dan ditetapkan secara istilah sar’i untuk ibadah tertentu, dalam firman Allah :        اقيموا الصلاة
 “dirikanlah shalat”
Yang dimaksud lafad itu adalah maknanya yang bersifat sar’i (istilahi) yaitu ibadah tertentu bukan makna kebahasaan, yaitu do’a.
Apabila lafad musytarok yang ada dalam nash sar’i (al-qur’an) adalah musytarok antara sejumlah makna kebahasaan maka wajib dilakukan ijtihad untuk menentukan makna yang dikehendaki dari padanya, karena sar’I tidaklah menghendaki pada suatu lafad kecuali salah satu maknanya saja[4] , dan orang mujtahid berkewajiban untuk mengambil petunjuk dengan berbagai qarinah dan tanda-tanda, serta dalil-dalil untuk menentukan maksudnya itu.
Misalnya : kata يد (tangan) dalam ayat al-qur’an
والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما
Kata tersebut adalah mustarok antara dzira’ (dari ujung jari hingga bahu), telapak tangan (dari ujung jari sampai pergelangan tangan) dan antara tangan kiri dan kanan. Jumhur ulama sepakat bahwa tangan yang di maksud yaitu makna yang terakhir, yakni dari ujung jari sampai dengan dua pergelangan pada tangan kanan.
Mengenai kesepakatan para ulama diatas, dasar atau qarinah yang digunakan yaitu hadis nabi  :
ا تى رسول الله صل الله عليه وسلم بسارق قتطع يده من مفصل الكف
“Rosulullah saw. Telah kedatangan seseorang dengan membawa seorang pencuri dari pergelangan”
Jadi, lafad musytarok tidak dapat menunjukan salah satu artinya yang tertentu (dari arti-arti lafad musytarok) selama tidak ada hal-hal (qarinah) yang menjelaskannya. Sebab tidak mungkin kita bisa beramal sesuai dengan petunjuk lafad musytarok selama kita tidak mengetahui maksud sebenarnya.
2. faktor Penyebab Munculnya Lafad Musytarok.
a.       Adanya hubungan (‘alaqoh) antara arti asal dan arti yang bersifat majazi, sehingga kedua arti tersebut dipakai untuk arti yang sebenarnya (haqiqi) tanpa menegetahui terlebih dahulu ada  dan tidaknya hubungan diantara keduanya.
b.      Adanya dua arti dasar yang kumpul dalam satu lafad. Sepeti inilah yang dikenal dengan musytarok maknawi[5]با لاشترك المعنوى
c.       Adanya kelalaian seorang terhadap arti yang bisa dipakai mengumpulkan kedua arti tersebut, karena ia menduga bahwa isytarok itu hanya terjadi antara lafad dengan lafad yang dikenal dengan musytarok lafzi, padahal terjadi juga antara arti dengan arti dalam satu lafal[6].
d.      Adanya keanekaragaman masyarakat, sehingga terjadi peletakan arti yang tidak sama dalam satu lafad, bahkan setiap elemen mempunyai istilah atau arti masing-masing dalam memaknai satu lafad yang sama[7].
C. KESIMPULAN
            Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bawa suatu lafad dapat dikatakan musytarok apabila dalam lafad tersebut mengandung dua atau beberapa arti dan beragam peletakannya. Dan mengenai adanya lafad musytrok terjadi karena beberapa hal, diantaranya yaitu adanya hubungan arti asal dan majazi, dua arti dasar yang kumpul,adanya kelalaian seorang terhadap arti yang bisa dipakai mengumpulkan kedua arti tersebut, dan adanya keaneka ragaman masyarakat yang terdapat di dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhaili Wahbah, Ushul Fiqih, 1990 M, (Kulliyatul Dakwah Al-Islamiyyah).
Wahbah Kholaf Abdul, ushul fiqih, Dar al-fikr al-‘araby.
Ma’sun Zaini Muhammad, ilmu ushul fiqih, jombang-jatim, darul Hikmah.
Al-khudloryi Muhammad, Ushul fiqih, Op.Cit.


[1] Abdul wahab kholaf, ushul fiqih, hal : 175
[2] Wahbah  al-zuhaili, ushul fiqih, hal :184
[3] Abdul wahab kholaf, ushul fiqih, hal :178
[4] Abdul wahab kholaf, ushul fiqih hal : 169
[5] Wahbah  al-zuhaili, ushul fiqih hal : 285
[6]Muhammad ma’sum zein, ilmu ushul fiqih, jombang-jatim, darul hikmah, hal :275
[7] Abdul wahab kholaf, ushul fiqih hal : 168

munasabah


BAB I
Pendahuluan
Pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar dikarenakan beliau gelisah oleh kenyataan bahwa dalam pertempuran di Yammah, yaitu ‘perang kemurtadan’ (riddah) banyak penghafal al-Qur’an yang mati terbunuh. Karena mereka adalah orang-orang yang menyimpan ayat-ayat al-Qur’an dalam hati mereka, Umar khawatir jika lebih banyak lagi yang gugur, maka ada bagian al-Qur’an yang akan hilang dan tidak tertolong lagi. Abu Bakar menugasi Zaid ibn Tsabit untuk melaksanakan tugas itu karena ia merupkan mantan juru tulis Nabi Muhammad SAW. Setelah Abu Bakar wafat penulisan al-Qur’an dilanjutkan oleh sahabat-sahabat Nabi lainnya. (Richard Bell1998 : 35)
Mengenai tertib surah terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama Salaf, ada yang mengemukakan pendapat bahwa hal itu tauqifi dari Nabi SAW dan ada juga yang berpendapat bahwa hal itu berdasarkan ijtihadi para sahabat. (Ibrahim Al Abyari1993 : 54)
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah korelasi atau persesuaian kandungan Al-Qur’an kurang mendapat  perhatian mendalam dari para Ulama yang menekuni ‘ulum al-Qur’an. Oleh karena itu makalah ini berupaya mengetengahkan mengenai munasabah yang mencakup: pengertian munasabah, sejarah perkembangan munasabah, eksistensi munasabah, macam-macam munasabah serta urgensi munasabah.
BAB II
A. Pengertian Munasabah
Menurut bahasa munasabah berarti al-musyâkalah dan al-muqarabah yang berarti saling munyerupai dan saling mendekati. Dikatakan bahwa si A bermunasabahdengan B, berarti A mendekati atau menyerupai B.
Secara etimologis, munasabah menurut Manna’ Al-Qaththan berarti keterkaiatan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam suatu ayat atau antara ayat dengan ayat atau antara surah dengan surah. (Manna’ Al-Qaththan 1973 : 94).
Adapun yang dimaksud dengan munasabah dalam terminologi ahli-ahli ilmu al-Qur’an sesuai dengan pengertian menurut bahasa di atas adalah segi-segi hubungan atau persesuaian al-Qur’an antara bagian demi bagian dalam berbagai bentuk. Dimaksud dengan segi hubungan atau persesuaian disini ialah semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna yang mempertalikan satu bagian dengan bagian yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan bagian demi bagian ialah semisal antara kata atau kalimat dengan kata atau kalimat, antara ayat dengan ayat, antara awal surah dengan akhir surah, antara surah yang satu dengan surah yang lain dan begitulah seterusnya hingga benar-benar tergambar bahwa al-Qur’an itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh. (Amin Suma, 2004: 144)
Seperti diingatkan para pujangga dan sastrawan, diantara ciri gubahan suatu bahasa yang layak dikategorikan baik dan indah ialah manakala rangkaian susunan kata demi kata, kalimat demi kalimat, alenia demi alenia dan seterusnya memiliki keterkaitan atau hubungan sedemikian rupa sehingga menggambarkan satu kesatuan yang  tidak  pernah  terputus. (Az-Zarkasyi,1988: 66) Al-Qur’an  sangat memenuhi persyaratan yang ditetapkan para pujangga itu, mengingat keseluruhan al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz, 114 surah, hampir 88.000 kata dan lebih dari 300.000 huruf, itu seperti yang ditegaskan al-Qurthubi (w. 671) laksana satu surah yang tidak dapat dipisah-pisahkan. (Amin Suma, ibid., 145) Satu hal yang patut ditegaskan ialah bahwa kesatuan al-Qur’an terjadi sama sekali bukan karena dipaksakan melainkan bisa dibuktikan melalui hubungan antar bagian dengan bagiannya.
Jadi munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang hikmah korelasi urutan  ayat  al-Quran,  atau  usaha  pemikiran  manusia  untuk  menggali  rahasia hubungan antar ayat atau surah yang dapat diterima oleh akal. Melalui ilmu ini diharapkan rahasia Ilahi dapat terungkap dengan jelas yang mampu menjawab sanggahan yang selalu meragukan keberadaan al-Qur’an sebagai wahyu Allah.
B. Sejarah Perkembangan Munasabah
Tercatat dalam sejarah bahwa Imam Abu Bakar al-Naisaburi (w.324 H) sebagai orang pertama melahirkan ilmu munasabah di Baghdad. Menurut al-Suyuthi (w. 911 H) sebagaimana dikutip oleh Ramli Adbdul Wahid dalam bukunya yang berjudul ‘Ulum al-Qur’an, orang pertama yang melahirkan ilmu munasabah adalah Syeikh Abu Bakar al-Naisaburi. Apabila al-Qur’an dibacakan kepadanya, ia bertanya mengapa ayat ini ditempatkan di samping ayat sebelahnya dan apa hikmah surah ini ditempatkan di samping surah sebelahnya. Bahkan ia mencela para ulama Bagdad karena mereka tidak mengetahui ilmu munasabah. (Ramli Abdul Wahid 2002 :91).
Ulama yang datang kemudian menyusun pembahasan munasabah secara khusus. Diantara kitab al-Burhân fi Munasabah Tartib Suwar al-Qur’an susunan Ahmad Ibn Ibrahim al-Andalusi (w. 807 H). Menurut pengarang tafsir al-Nur, penulis yang membahas menasabah dengan sangat baik ialah Burhanuddin al-Biqa’I dalam kitab Nazhm al-Durar fi Tanasubi al-ayat wa al-Suwar.
As-Suyuthi membahas tema munasabah dalam kitab al-Itqan dengan topik khusus  yang  berjudul   Munasabah al-Ayat sebelum  membahas  ayat-ayat mutasyabihat. Az-Zarkasyi membahas soal munasabah dalam kitab al-Burhan dengan topik yang berjudul ma’rifah al-munasabah baina al-ayat sesudah membahas asbab al-nuzul. Subhi Shalih memasukkan pembahasan munasabah dalam bagian ilmu asbab al-nuzul, meskipun tidak dalam satu pasal tersendiri. Sebaliknya, Sa’id Ramadlan al-Buthi tidak membicarakan munasabah dalam buku min Rawai’il al-Qur’an.
Terdapat  beberapa  istilah  yang  dikemukakan  para  mufassir  mengenai munasabah. Ar-Razi menggunakan  istilah ta’alluq sebagai sinonimnya.  Sayyid Quthub menggunakan lafal irtibath sebagai pengganti kata munasabah. Sedangkan Sayyid Rasyid Ridla menggunakan dua istilah, yaitu al-ittishal dan al-ta’lil. Al-Alusi menggunakan istilah yang hampir sama dengan istilah yang digunakan Sayyid Quthub, yakni tartib. (Ahmad Izzan 2005:189)
C. Eksistensi Munasabah
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al-Qur’an adalah tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). (Al-Qattan Terj. Mudzakir, 1992:141) Mengenai tertib surah-surah Al-Qur’an mayoritas ulama berpendapat bahwa tertib surah-surah al-Qur’an sebagaimana yang dijumpai pada mushhaf yang sekarang adalah tauqifi. Pendapat ini didasarkan atas keadaan Nabi SAW. yang setiap tahun melakukan mu’aradhah (memperdengarkan bacaannya) kepada Jibril AS. termasuk yang diperdengarkan Rasul itu tertib surah-surahnya. Pada mu’aradhah terakhir, Zaid Ibn Tsabit hadir saat Nabi membacakan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tertib surah yang sama kepada kita jumpai sekarang.
Adapun sebagian ulama memandang tertib ayat-ayat al-Qur’an masuk dalam masalah ijtihad. Pendapat ini didasarkan atas beberapa alasan. Pertama mushhaf pada catatan para sahabat tidak sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca al-Qur’an berbeda dengan tertib surah yang terdapat dalam al-Qur’an. Ketiga adanya perbedaan pendapat dalam masalah tertib surah al-Qur’an ini menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang dimaksud. Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa sebagiannya tauqifi dan lainnya ijtihadi. Pendapat ini juga mengajukan beberapa alasan. Menurut pendapat ini, tidak semua nama surah al-Qur’an diberikan oleh Allah, tetapi sebagian diberikan oleh Nabi SAW. dan lainnya diberikan oleh para sahabat. Usman pernah ditanya mengapa surah Al-Taubah tidak dimulai dengan basmalah. Ia menjawab bahwa ia melihat isinya sama dengan surah sebelumnya, surah Al-Anfal. Nabi tidak sempat menjelaskan tempat surah tersebut sampai wafatnya. Karena itu, saya-kata usman-meletakkannya setelah surah Al-Anfal .
Meski ketiga pendapat diatas memiliki alasan, tetapi alasan-alasan yang dikemukankan itu tidak semuanya memiliki tingkat keabsahan yang sama. Alasan pendapat yang mengatakan tertib surah sebagai ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur’an berbeda dengan tertib mushhaf  yang sekarang dan adanya cacatan mushhaf sahabat yang berbeda bukanlah riwayat mutawatir. Tertib mushhaf sekarang berdasarkan khabar mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushhaf  itu  hadir bersama  Nabi setiap  saat turun ayat  al-Qur’an.  Karena itu, kemungkinan tidak utuhnya tertib mushhaf  sahabat sangat besar. Demikian juga alasan pendapat yang mengatakan sebagian surah tauqifi dan sebagian lainnya ijtihadi tidak kuat. Keterangan bahwa Nabi tidak sempat menjelaskan letak surah al-Taubah sehingga Usman menempatkannya setelah surah al-Anfal adalah riwayat yang lemah, baik dari segi sanad  maupun matan. Sebab periwayat, Yazid pada sanadnya dinilai majhul oleh Al-Bukhari dan Ibn Katsir. Dari segi matan juga riwayat ini lemah karena Nabi wafat tiga tahun setengah setelah turunnya surah al-Taubah. Tentunya dalam rentang waktu demikian panjang sulit dibayangkan Nabi tidak sempat menjelaskan letak sebuah surah, sedangkan Nabi setiap tahun membacakan Al-Qur’an kepada Jibril AS. Sementara itu riwayat tentang mu’aradhah Nabi akan bacaanya kepada Jibril setiap tahun adalah riwayat yang shahih. Karena itu, pendapat mayoritas lebih kuat dari kedua pendapat lainnya. (Ramli Abdul Wahid 2002 : 92)
Izzudin bin Abd al-Salam (577-660 H) yang mewakili sebagian ahli ilmu-ilmu al-Qur’an masa klasik, Manna’ al-Qathan dan Shugbi as-Sholih yang mewakili ahli ilmu-ilmu al-Qur’an kontemporer yang tidak menyetujui  pemaksaan ilmu munasabah untuk seluruh ayat-ayat al-Qur’an. Dengan argumentasi karena selain ayat-ayat al-Qur’an diturunkan dalam rangka menjawab pertanyaan dan kasus yang berbeda-beda, disamping pewahyuan al-Qur’an itu sendiri yang memakan waktu lama. Lalu bagaimana merangkai ayat al-Qur’an dengan banyak hal yang dibicarakan dan juga memerlukan waktu yang tidak sedikit.(Al-Qathan, 1973: 98)
Akan tetapi menurut sebagian ulama tetap berkeyakinan bahwa hubungan al-Qur’an antara bagian demi bagian dan ayat demi ayat serta surah demi surah pasti dapat ditelusuri. Karena az-Zarkasyi juga mengatakan bahwa munasabah tergolong ke dalam yang bersifat rasional dan akan terjangkau oleh akal manakala diserahi tugas itu. Berbagai hubungan antara pembuka-pembuka surah dan  penutup-penutupnya, demikian  pula  dengan  perujukan  kepada  makna  apa  pun  yang menghubungkan antara keduanya; apakah itu berdasar pendekatan ‘am dan khas, aqliy maupun hissyi dan bahkan hayaliy serta hubungan-hubungan yang lain-lainnya. Bisa juga dilakukan dengan pendekatan hubungan saling  keterkaitan  yang bersifat penalaran, sebagaimana hubungan sebab musabbab, illat dan ma’lul, al-nazhirain dan lain-lain.(Az-Zarkasyi, 1988: 65)
Terlepas dari kontropersi pendapat tentang keberadaan munasabah, ilmu ini termasuk yang kurang mendapat perhatian dari para mufassir. Buku-buku Ulum al-Qur’an, terutama buku-buku dalam bahasa Indonesia jarang memuat bahasan ini. Sebab, ilmu munasabah -sebagaimana ditegaskan oleh al-Suyuthi- termasuk ilmu yang rumit.
D. Macam-macam Munasabah
a. Macam-macam Sifat Munasabah
Ditinjau dari segi sifatnya munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah  itu ada dua macam, yaitu:
1. Persesuaian yang nyata (Dzaahir al-Irtibath) atau persesuaian yang tampak jelas, yaitu persesuaian antara bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat, kerena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain. Maka deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat yang satu itu berupa penguat, penafsir, penyambung, penjelasan, pengecualian atau pembatasan dari ayat yang lain, sehingga semua ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama. Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1 surah Al-Isra’:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (1)
Artinya:
“Maha Suci Allah, yang memperjuangkan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha.”(al-Isra’: 1)
 Ayat tersebut menerangkan Isra’ Nabi Muhammad SAW. selanjutnya, ayat 2 surah Al-Isra tersebut yang berbunyi:
وَآَتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلَّا تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلًا (2)
Artinya:
“Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel.”(al-Isra’: 2)
Ayat yang pertama berbicara tentang perjalanan isra’ Nabi Muhammad SAW. sedangkan ayat kedua berbicara tentang  penurunan kitab Taurat kepada Nabi Musa. Segi penghubungnya, kata az-Zarkasyi, pada ayat pertama, Allah menampilkan hal yang ghaib (perjalanan isra’), kemudian diikuti informasi serupa (sama-sama ghaib) berkenaan dengan hal yang terjadi di masa lampau guna memperkuat kebenaran mu’jizat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang selain Nabi Muhammad SAW. yakni mu’jizat Nabi Musa AS. Jadi, Allah mengibaratkan Nabi Muhammad SAW. sebagaimana Nabi Musa juga pernah di-isra’kan Allah dari Mesir ke Palestina (al-Baqarah 49-50, al-Anfal 54, Yunus 90, al-Isra’ 103, as-Syu’ara 65-67), beserta balatentaranya dalam suasana yang sangat mencekam dan menakutkan. (Az-Zarkasyi,1988: 69)
2. Persambungan yang tidak jelas (Khafiy al-Irtibath) atau samarnya persesuaian antara bagian Al-Qur’an dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat atau surah itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surah al-Baqarah dengan ayat 190 surah Al-Baqarah. Ayat 189 surah Al-Baqarah tersebut berbunyi:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (189)
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan tsabit. Katakan-lah, bulan tsabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.”
 Ayat tersebut menerangkan bulan tsabit atau tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji. Sedangkan ayat 190 surah Al-Baqarah berbunyi:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (190)
Artinya:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas.”
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya  atau  hubungan  yang  satu  dengan  yang  lainnya  samar.  Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 surah al-Baqarah menerangkan: Sebenarnya, waktu haji itu umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji. ( Abdul Djalil 1998 : 157).
b. Macam-macam Materi Munasabah
Ditinjau dari segi materinya, maka munasabah itu ada dua macam, sebagai berikut:
1. Munasabah antar surah, yaitu munasabah antara surah yang satu dengan surah yang lain. Munasabah ini ada beberapa bentuk, sebagai berikut:
a. Munasabah antara dua surah dalam soal materinya, yaitu materi surah yang satu dengan materi surah yang lain. Contohnya, seperti surah kedua Al-Baqarah sama dengan isi surah yang pertama Al-Fatihah. Keduanya sama-sama menerangkan hal kandunagn Al-Qur’an, yaitu masalah akidah, ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman. Dalam surah Al-Fatihah semua itu diterangkan secara ringkas, sedang dalam surah Al-Baqarah dijelaskan dan dirinci secara panjang lebar.
b. Persesuaian antara permulaan surah dengan penutupan surah sebelumnya. Sebab semua pembukaan surah itu erat sekali kaitannya dengan akhiran dari surah sebelumnya, sekalipun sudah dipisah dengan basmalah.
Contohnya, seperti awalan dari surah Al-An’am yang berbunyi:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ (1)
Artinya:
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi.”
Awalan surah Al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surah Al-Maidah yang berbunyi:
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (120)
Artinya:
“Kepunyaan Allah  kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
c. Munasabah terjadi pula antara awal surah dengan akhir surah. Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surah al-Qasas. Surah ini dimulai dengan menceritakan  Musa,  menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya; kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki sedang berkelahi.
Allah mengisahkan doa Musa:
قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ (17)
Artinya:
“Musa  berkata: ‘Ya  Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa” (al-Qasas 28:17)
Kemudian surah ini diakhiri dengan menghibur Rasul bahwa ia akan keluar dari Makkah dan dijanjikan akan kembali lagi ke Makkah serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang yang kafir:
إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآَنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ مَنْ جَاءَ بِالْهُدَى وَمَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (85) وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَى إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلَّا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ ظَهِيرًا لِلْكَافِرِينَ (86)
Artinya:
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (untuk melaksanakan hukum-hukum) al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ketempat kembali (yaitu kota Mekah). Katakanlah: ’Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.’ Dan kamu tidak pernah mengharap agar al-Qur’an diturunkan kepadamu, akan tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat besar dari Tuhanmu, oleh sebab itu janganlah sekali-kali menjadi penolong bagi orang kafir.” (al-Qasas 28 : 85-86). (Al-Qattan Terj. Mudzakir 1992: 144)
2.Munasabah Antara Ayat dengan Ayat Dalam Satu Surah
Munasabah ini bisa berbentuk persambungan-persambungan, sebagai berikut:
a. Diathafkannya ayat yang satu kapada ayat yang lain, seperti munasabah antara ayat 103 surah Ali-Imran:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (103)
Artinya:
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai........”
Dengan ayat 102 surah Ali-Imran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102)
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya  takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Faedah dari munasabah dengan athaf ini ialah untuk menjadikan dua ayat tersebut sebagai dua hal yang sama (Al-Nadziiraini). Ayat 102 surah Ali-Imran menyeruh bertaqwa dan ayat 103 surah Ali-Imran menyuruh berpegang teguh kepada agama Allah, dua hal yang sama.
b. Tidak diathafkannya ayat yang satu kepada yang lain, seperti munasabah antara ayat 11 surah Ali-Imran:
كَدَأْبِ آَلِ فِرْعَوْنَ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا فَأَخَذَهُمُ اللَّهُ بِذُنُوبِهِمْ وَاللَّهُ شَدِيدُ الْعِقَابِ (11)
Artinya:
“(Keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir’aun dan orang-orang yang sebelumnya, mereka mendustakan ayat-ayat Kami...........”
 Dengan ayat 10 surah Ali-Imran:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَأُولَئِكَ هُمْ وَقُودُ النَّارِ (10)
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka sedikit pun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itulah bahan bakar api neraka.”
Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat yang kedua (ayat 11 surah Ali-Imran) dengan ayat yang sebelumnya (ayat 10 surah Ali-Imran), sehingga ayat 11 surah Ali-Imran itu dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10 surah Ali-Imran.
c. Digabungkannya dua hal yang sama, seperti persambungan antara ayat 5 surah Al-Anfal:
كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ (5)
Artinya:
“Sebagaimana Tuhanmu menyeruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman tidak menyukainya.”
dengan ayat 4 surah Al-Anfal:
أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (4)
Artinya:
“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”
Kedua ayat itu sama-sama menerangkan tentang kebenaran. Ayat 5 surah Al-Anfal itu menerangkan kebenaran bahwa Nabi diperintah hijrah dan ayat 4 surah Al-Anfal tersebut menerangkan kebenaran status mereka sebagai kaum mukmin.
 d. Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi (Al-Mutashaddat). Seperti dikumpulkan ayat 95 surah Al-A’raf:
ثُمَّ بَدَّلْنَا مَكَانَ السَّيِّئَةِ الْحَسَنَةَ حَتَّى عَفَوْا وَقَالُوا قَدْ مَسَّ آَبَاءَنَا الضَّرَّاءُ وَالسَّرَّاءُ فَأَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (95)
Artinya:
“Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan  hingga keturunan  dan  harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: “Sesungguhnya nenek moyang kami pun telah merasakan pernderitaan dan kesenangan.”
Dengan ayat 94 surah Al-A’raf:
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا أَخَذْنَا أَهْلَهَا بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَ (94)
Artinya :
“Kami tidaklah mengutus seseorang nabi pun kepada suatu negeri, (lalu  penduduknya mendustakan nabi itu) melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.”
Ayat 94 surah Al-A’raf tersebut menerangkan ditimpakannya kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tetapi ayat 95 surah Al-A’raf menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan.
e. Dipindahkannya satu pembicaraan ayat 55 surah Shaad:
هَذَا وَإِنَّ لِلطَّاغِينَ لَشَرَّ مَآَبٍ (55)
Artinya:
“Beginilah (keadaan mereka). Sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka, benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk.”
Dialihkan pembicaraan kepada nasib orang-orang yang durhaka yang benar-benar akan kembali ke tempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 surah Shaad yang membicarakan rezeki dari para ahli surga:
إِنَّ هَذَا لَرِزْقُنَا مَا لَهُ مِنْ نَفَادٍ (54)
Artinya:
“Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezeki dari Kami yang tiada habis-habisnya.”
3. Munasabah antara nama surah dengan kandungannya
Nama-nama surah yang ada di dalam al-Qur’an memiliki kaitan dengan pembahasan yang ada pada isi surah. Surah al-Fatihah disebut juga umm al-kitab karena memuat berbagai tujuan al-Qur’an.
4. Munasabah antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat.
Munasabah di sini bisa bertujuan:
a. Tamkin (peneguhan). Misalnya:
وَرَدَّ اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا خَيْرًا وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا (25)
Artinya:
“Dan Allah menghalau orang-orang kafir yang keadaan mereka penuh kejengkelan, mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari perperangan. Dan Allah adalah Maha Kuasa lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Ahzab 33 : 25)
Sekiranya ayat ini terhenti pada, “Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari perperangan,” niscaya maknanya bisa dipahami orang-orang lemah sejalan dengan pendapat orang-orang kafir yang mengira bahwa mereka mundur dari perang karena angin yang kebetulan bertiup. Padahal bertiupnya angin bukan suatu yang kebetulan, tetapi atas rencana Allah mengalahkan musuh-musuh-Nya dan musuh kaum Muslim. Karena itu, ayat ini ditiup dengan mengingatkan kekuatan dan kegagahan Allah SWT. menolong kaum Muslim. (Rosihan Anwar 2000 : 92)
b. Tashdir (pengembalian). Misalnya:
قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ حَتَّى إِذَا جَاءَتْهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً قَالُوا يَا حَسْرَتَنَا عَلَى مَا فَرَّطْنَا فِيهَا وَهُمْ يَحْمِلُونَ أَوْزَارَهُمْ عَلَى ظُهُورِهِمْ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ (31)
Artinya:
“.......Dan mereka memikul dosa-dosa mereka di atas punggung mereka. Ingatlah amat buruk apa yang mereka pikul itu.” (QS. Al-An’am 6 : 31)
Ayat ini ditutup dengan kata أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ untuk membuatnya sejenis dengan kata dalam ayat tersebut.
c. Tausyih (hikmah). Misalnya:
وَآَيَةٌ لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ (37)
Artinya:
“Satu tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka tiba-tiba mereka berada dalam kegelapan.” (QS. Yasin 36 : 37)
Dalam permulaan ayat ini terkandung penutupnya. Sebab, dengan hilangnya siang akan timbul kegelapan. Ini berarti bahwa kandungan awal ayat telah menunjukkan adanya hikmah dibalik kejadian tersebut.
d. Ighal (penjelasan tambahan dan penajaman makna). Misalnya:
إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ (80)
Artinya:
“Sesungguhnya,  kamu  tidak  dapat  menjadikan  orang-orang  mati mendengar dan tidak pula orang-orang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.” (QS. Al-Naml 27 : 80)
Kandungan ayat ini sebenarnya sudah jelas sampai kata al-du’a (panggilan). Akan tetapi, untuk lebih mempertajam dan mempertandas makna, ayat itu diberi sambungan lagi sebagai penjelas tambahan.
E. Urgensi Munasabah
Pengertian  tentang  munasabah al-Qur’an terutama bagi seorang mufassir urgen. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemu’jizatannya. Karena itu, Izzuddin Abd. Salam mengatakan bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain, beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang betul-betul berkaitan, baik di awal ataupun di akhirnya.(Az-Zarkasyi, 1988: 65)
2. Mempermudah pemahaman al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surah Al-Fatihah yang artinya, “Tunjukanlah kami kepada jalan yang lurus” disambung dengan ayat tujuh yang artinya, “Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat atas mereka. “Antara keduanya terdapat hubungan penjelasan bahwa jalan yang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang telah mendapat nikmat dari Allah SWT.
3. Menolak tuduhan bahwa susunan al-Qur’an kacau. Tuduhan misalnya muncul karena penempatan surah al-Fatihah pada awal Mushhaf sehingga surah inilah yang pertama dibaca. Padahal, dalam sejarah, lima ayat dari surah al-‘Alaq sebagai ayat-ayat pertama turun kepada Nabi SAW. akan tetapi, Nabi menetapkan letak al-Fatihah di awal Mushhaf yang kemudian disusul dengan surah al-Baqarah. Setelah didalami, ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surah al-Fatihah mengandung unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surah ini termuat do’a manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surah al-Baqarah diawali dengan petunjuk al-Kitab sebagai pedoman menuju jalan yang lurus. Dengan demikian, surah al-Fatihah merupakan titik bahasan yang akan diprinci pada surah berikutnya, al-Baqarah. Dengan mengemukakan Munasabah tersebut, ternyata susunan ayat-ayat dan surah-surah Al-Qur’an tidak kacau melainkan mengandung makna yang dalam. (Ramli Abdul Wahid, 2002 :95)
4. Dengan ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain, serta persesuaian ayat atau surahnya yang satu dari yang lain, sehingga lebih menyakinkan kemu’jizatannya, bahwa al-Qur’an itu benar-benar wahyu dari Allah SWT. dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW. karena itu, Abdul Djalal dalam bukunya menambahkan Imam Fakhruddin al-Razi (Abdul Djalal, 2000:164) mengatakan kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an terletak pada susunan dan penyesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling bersetara adalah saling berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh ahli ‘ulum al-Qur’an diantaranya adalah Abu Bakar bin al-Arabi, Izzuddin bin Abdus-Salam bahwa ilmu munasabah adalah ilmu yang baik (‘ilm hasan), ilmu mulia (‘ilm syarif), ilmu yang agung (‘ilm adzim). Dari semua julukan ini menandakan bahwa ilmu Munasabah mendapat tempat dan penghargaan yang cukup tinggi atau peran yang cukup signifikan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Sehingga az-Zarkasyi berpendapat bahwa ilmu ini dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui kecerdasan seorang mufassir. (Az-Zarkasyi, 1988: 62)
Kedudukan ilmu ini semakin terasa kebutuhannya manakala seseorang menafsirkan al-Qur’an menggunakan metode tafsir al-maudhu’i (tematik) atau al-muqaran (komparasi), karena metode ini memperhatikan keterkaitan (munasabah) antara ayat yang berbicara tentang masalah yang sejenis. (Az-Zarkasyi, 1988: 63)
Berlainan dengan ilmu asbab al-nuzul yang digolongkan kedalam ilmu sima’i dan karenanya maka bersifat naqli (periwayatan), maka ilmu Munasabah digolongkan kedalam kelompok ilmu-ilmu ijtihadi yang karenanya bersifat penalaran. Sebagai ilmu ijtihadi ilmu ini sangat berpeluang untuk dikembangkan  dalam upaya memperkaya dan memperkuat penafsiran al-Qur’an, yaitu dengan cara mencari hubungan antara ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya. (Amin Suma, 2004: 148)
BAB III
SIMPULAN
Munasabah ialah cabang dari ilmu ‘Ulum al-Qur’an yang membahas persesuaian atau korelasi antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah maupun surah dengan ayat di dalam al-Qur’an. Terlepas dari kontropersi tentang keberadaan munasabah yang  kurang mendapat perhatian dari para muffasir, penulis sangat tertarik karena mempelajari munasabah dapat mempermudah memahami dan memaknai hal-hal yang tersirat di dalam al-Qur’an sehingga bagian-bagian dari al-Qur’an nampak  saling berhubungan menjadi satu rangkaian yang utuh selain itu juga dapat mempertebal keyakinan dan keimanan kita akan Kebesaran Ilahi.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Al-Qur’an al-Karim
2.      Al-Abyari, Ibrahim, Sejarah al-Qur’an, Semarang: Bina Utama, 1993.
3.      Al-Qathathan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Al-Syarikah al-Muttahid li al-Tauzi, 1973.
4.      Anwar, Rosihan, ‘Ulum al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
5.      Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Darul Mathabah, 1988.
6.      Bell, Richard, Pengantar Qur’an, Jakarta: INIS, 1998.
7.      Djajal, Abdul, ‘Ulum al-Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 1998.
8.      Izzan, Ahmad, ‘Ulum al-Qur’an Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas al-Qur’an, Bandung: Tafakur, 2005.
9.      Halimuddin, Pembahasan Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
10.  Mudzakir, AZ, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta: Lintera Antar Nusa, 1992.
11.  Suma, Muhammad Amin, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
12.  Wahid, Ramli Abdul, ‘Ulum al-Qur’an Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992.